Pamomong
18 Oktober 2009 | 10:37 wib
Oleh Sucipto Hadi Purnomo
Jurus Pemangku Penjinak Lawan
image

Musuh jangan (tampak) dimusuhi. Mereka perlu direngkuh, perlu dipangku. Memusuhi hanya akan menguras banyak energi. Sebaliknya memangkunya justru akan membuat musuh tak berdaya: mati! Namun benarkah strategi ini selalu efektif untuk menjinakkan lawan?

Dalam tata tulis aksara Jawa, dikenal aksara nglegena, yakni dentawyanjana yang terdiri atas dua puluh aksara tanpa sandhangan, tanpa pasangan. Sandhangan diperlukan untuk membuat aksara-aksara itu berbunyi tidak hanya dengan ”a”, seperti ha, na, dan ca, tetapi juga agar bisa hu, ni, ce, dan seterusnya.
Di samping itu, dikenal pula pasangan dan pangkon. Pasangan digunakan untuk menandai huruf mati atau sigeg di tengah-tengah kalimat, sedangkan pangkon untuk ”mematikan” aksara nglegena dan hanya bisa digunakan pada akhir kalimat. Setiap aksara nglegena yang dipangku, akan menjadi aksara mati.
Dari situlah ”filosofi” tentang ”mati jika dipangku” atau ”yang dipangku pasti akan mati” dapat digali. Maklumlah, sebagai penanda tradisi literasi orang Jawa, aksara Jawa dengan segala tata aturan penulisan yang melingkupi, dianggap tidak sekadar sebagai sarana untuk menulis, tetapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai filosofis tertentu.
”Mati yen dipangku” kemudian dianggap sebagai salah satu bagian dari manajemen kepemimpinan Jawa. Implementasinya, jika saat memimpin ada yang dapat dianggap sebagai ancaman atau bahkan musuh, sebaiknya jangan dimusuhi. Rengkuhlah ia, bahkan kalau perlu, berikanlah kedudukan yang layak sehingga akan merasa kepotangan budi dan dengan begitu niscaya akan mendukung yang memimpin.
Memang manusia sifatnya, barangsiapa diberikan kebaikan, secara nuraniah pastilah ia akan merasa perlu untuk membalas dengan kebaikan. Barangsiapa pula dipangku, pastilah ia akan akan merasa mendapatkan kenikmatan sehingga akan berusaha membalasnya dengan kebaikan juga.
Strategi macam ini kiranya dapat dihubungkan dengan salah satu aforisme Jawa yang diperkenalkan oleh RM Sasrakartana, yakni menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan). Ini adalah modus meraih kemenangan yang tergolong sofisticated, sebab kemenangan mesti diraih dengan cara yang lebih ”canggih”.
Persoalannya, apakah menang tanpa ngasorake ataupun mematikan lawan dengan cara mangku sekadar retorika? Adakah fakta historis yang menunjukkan implementasinya?
Amangkurat-Hamengku buwana
Raja-raja Mataram setelah Sultan Agung Anyakrakusuma memiliki gelar Amangkurat. Amangkurat sebenarnya merupakan kata kerja, yakni amangku yang berarti memangku dan rat yang berarti jagat. Jadi, amangkurat berarti memangku jagat.
Mudah diterka, seorang Amangkurat adalah seorang pemimpin yang memiliki obsesi untuk memangku jagat seisinya. Semuanya direngkuh, bukannya dimusuhi. Namun apakah benar begitu?
Justru pada Amangkurat I dan Amangkurat II tercatat kebengisan demi kebengisan yang sama sekali jauh dari hasrat untuk mangku, apalagi mengkoni. Terhadap Tumenggung Wiraguna, Pangeran Pekik, Putri Pandansari, dan Ki Dalem, yang dianggap sebagai klilip, Amangkurat I justru menjatuhkan hukuman mati. Tak pelak, tindakan itu justru memantik perlawanan baik secara sembunyi maupun terang-terangan di kalangan istana.
Hal serupa juga dilakukan oleh Amangkurat II terhadap Raden Sukra. Gelar Amangkurat yang disandangnya justru sekadar untuk meneguhkan dirinya sebagai yang gung binathara, mbau dhendha nyakrawati (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia).
Sepadan dengan Amangkurat, trah Mataram pasca-Sultan Agung yang lainnya, terutama yang memerintah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menggunakan gelar Hamengkubuwana. Hamengku artinya memangku, sedangkan buwana artinya dunia. Jadi Hamengkubuwana adalah sosok yang memangku dunia.
Jika kerap kali tidak ada kesejajaran antara label yang disematkan dan tindakan yang dikembangkan, jika antara harapan atau cita-cita yang didengungkan dan kenyataan yang disuguhkan, paling tidak bisa diduga betapa memang tidak gampang untuk mangku. Kesanggupan untuk mangku tidak hanya ditopang oleh kemampuan secara fisik, semisal karena memiliki kasekten jaya kawijayan guna kasantikan, tetapi juga lebih-lebih pada kemampuan batin. Kemampuan untuk menggulung nafsu mengalahkan —sebab biasanya yang menang lebih suka melakukan tumpes tapis tanpa tilasómerupakan prasyarat utama untuk bisa mangku.
Persoalan berikutnya, keinginan untuk memangku tidak selalu berbanding lurus dengan efek yang diharapkan. Tak jarang keinginan untuk mangku justru berbalas dengan kepahitan. Sebab, tetap saja peribahasa ”air susu dibalas air tuba” tetap saja berlaku.
Pada masa akhir pemerintahan Majapahit, Brawijaya bukannya tidak menyadari ancaman yang bakal ditebarkan oleh para wali, terutama yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Justru karena itulah ia merasa perlu untuk memangku mereka. Kepada mereka diberikanlah tempat untuk medhepok, bahkan untuk mendirikan kasunanan.
Begitu pula Jayakatwang. Berhasil mengalahkan Kertanegara, dia pun memegang tampuk pemerintahan Kadiri. Namun di balik itu masih ada Wijaya yang notabene menantu Kertanegara.
Jayakatwang menyadari, Wijaya adalah ancaman. Namun terhadap ancaman yang sewaktu-waktu bisa melancarkan aksi balasan, Jayakatwang justru memangkunya. Diberikanlah izin kepada Wijaya untuk nglungguhi bumi tarik dan babad alas di sana.
Namun sebagaimana Sunan Bonang bagi Brawijaya, Wijaya tetap saja menjadi satru munggwing cangklakan bagi Brawijaya. Tindakan mangku secara tak langsung malahan ”membesarkan” musuh.
Pada kasus ini, mangku tidak berujung pada kematian yang dipangku, tetapi justru menguatkannya. Mangku malahan memberikan kekuatan yang dipangku. Ketika sunat (khitan) masih dijalankan secara tradisional, biasanya yang disunat dipangku oleh seseorang yang dianggap memiliki kekuatan batin. Setidak-tidaknya mampu mbombong ati yang disunat sehingga tak gentar ketika pemotongan pucuk kelamin dilakukan.
Mangku, dalam konteks ini, selain untuk menguatkan dan menghibur, juga dalam rangka untuk melenakan, yakni membuat lupa bahwa yang akan dihadapi itu adalah kesakitan. (35)
(—Sucipto Hadi Purnomo, dosen Budaya Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang /)